Analisis Hukum Ekonomi terhadap Prinsip Kemanusiaan dalam Penegakan Hukum di Indonesia
Pendahuluan
Hukum tidak pernah berdiri netral. Dalam perspektif Marxisme, hukum merupakan superstruktur yang merefleksikan hubungan produksi, kesadaran kelas, serta proses sosial-ekonomi yang melatarinya. Pada kenyataannya, hukum seringkali berpihak pada kelas berkuasa, meskipun tetap memberi manfaat umum dengan menjaga keteraturan sosial.
Di sisi lain, Hak Asasi Manusia (HAM) muncul sebagai konsep universal yang menegaskan martabat manusia. Namun, kritik Marx menunjukkan bahwa HAM dalam masyarakat borjuis sering kali hanya menjadi hak formal yang menguntungkan kelas dominan.
Artikel ini mencoba melihat bagaimana prinsip kemanusiaan dipahami dalam tiga tradisi penting — Marxisme, Pancasila, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) — serta relevansinya dalam penegakan hukum di Indonesia melalui pendekatan hukum ekonomi.
Apa Itu HAM?
Secara sederhana, HAM adalah hak dasar yang melekat pada setiap manusia sejak lahir. HAM bersifat kodrati, universal, dan tidak dapat dicabut oleh siapa pun.
Sejarah panjang HAM dapat ditelusuri sejak Magna Charta Libertatum (1215), Habeas Corpus Act (1679), Bill of Rights (1689), Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776), hingga Revolusi Prancis (1789). Akhirnya, pada 1948, PBB merumuskannya dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Kemanusiaan dalam Tradisi Marxisme
Bagi Marx, hukum adalah alat kelas berkuasa untuk melindungi kepentingan ekonominya. Kritik utama Marx terhadap HAM adalah sifatnya yang individualistis dan formal.
Dalam masyarakat borjuis, “kebebasan” seringkali berarti kebebasan bagi pemilik modal, sementara buruh tetap terikat oleh ketergantungan ekonomi. Dengan demikian, HAM hanya mengukuhkan ketidaksetaraan sosial.
Namun, perkembangan selanjutnya — seperti pemikiran Jürgen Habermas — menegaskan bahwa HAM tetap penting agar manusia tidak terjebak dalam tirani mayoritas atau kekuasaan absolut.
Kemanusiaan dalam DUHAM
DUHAM 1948 mengandung empat gagasan utama:
-
Martabat manusia – setiap orang berharga tanpa memandang ras, agama, atau asal-usul.
-
Kebebasan – hak hidup, kebebasan beragama, berpendapat, dan bebas dari penyiksaan.
-
Kesetaraan – hak politik, ekonomi, dan sosial yang sama bagi semua orang.
-
Persaudaraan – solidaritas kemanusiaan yang mengikat seluruh umat manusia.
Konsep ini kemudian dijabarkan dalam berbagai kovenan internasional, termasuk International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).
Kemanusiaan dalam Pancasila
Menariknya, nilai-nilai dalam DUHAM sebenarnya sudah terkandung dalam Pancasila yang dirumuskan pada 1 Juni 1945.
Soekarno menegaskan bahwa nasionalisme Indonesia bukanlah chauvinisme sempit, melainkan nasionalisme yang berlandaskan perikemanusiaan. Hal ini termaktub dalam Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Prinsip kemanusiaan ini menjiwai seluruh sila Pancasila:
-
Sila Pertama: Kebebasan beragama.
-
Sila Ketiga: Persatuan dalam keberagaman.
-
Sila Keempat: Demokrasi yang partisipatif.
-
Sila Kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, Pancasila jauh dari tuduhan anti-HAM, justru ia merupakan fondasi yang meneguhkan martabat manusia.
Keselarasan Marxisme, Pancasila, dan DUHAM
Ketiganya memiliki benang merah: pengakuan terhadap martabat manusia.
Marxisme menekankan kebebasan manusia yang seutuhnya (individual sekaligus sosial).
DUHAM menguniversalkan prinsip martabat, kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan.
Pancasila menegaskan kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai dasar bernegara.
Kesamaan inilah yang menunjukkan bahwa prinsip kemanusiaan tetap relevan dalam penegakan hukum modern.
Analisis Hukum Ekonomi: Relevansi Prinsip Kemanusiaan
Hukum ekonomi melihat hukum sebagai instrumen untuk mencapai tujuan sosial, bukan sekadar perangkat teknis. Ia menilai bagaimana aturan hukum memengaruhi perilaku masyarakat, efisiensi, dan distribusi keadilan.
Dalam konteks Indonesia, penerapan prinsip kemanusiaan tercermin dalam:
Ratifikasi 8 dari 9 instrumen pokok HAM internasional.
Pembentukan Komnas HAM sebagai lembaga independen.
Dorongan menuju keadilan restoratif, bukan hanya keadilan pembalasan (vindiktif).
Keadilan restoratif berfokus pada pemulihan korban, penyadaran pelaku, dan rekonsiliasi sosial. Selain lebih manusiawi, pendekatan ini juga lebih efisien secara ekonomi dan efektif mencegah kejahatan berulang.
Kesimpulan
HAM adalah hak dasar yang melekat pada manusia karena kemanusiaannya.
Marxisme, DUHAM, dan Pancasila sama-sama menegaskan martabat manusia sebagai nilai mutlak.
Pancasila lebih dulu mengartikulasikan prinsip kemanusiaan sebelum DUHAM lahir.
Analisis hukum ekonomi menunjukkan pentingnya penegakan hukum berbasis keadilan restoratif, karena lebih adil, efisien, dan selaras dengan nilai kemanusiaan.
Dengan demikian, penegakan hukum di Indonesia tidak boleh berhenti pada logika pembalasan, tetapi harus berlandaskan pada pemulihan, rekonsiliasi, dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Petrus CKL Bello – Analisis Hukum Ekonomi Terhadap Pemberlakuan Prinsip Kemanusiaan Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Hukum To-ra, Vol. 11 No. 2 (2025).